Sabtu, 20 Agustus 2011

Aku pamit


Aku pamit..
dua hari lagi akan kuucapkan itu padamu
Dan sekarang aku sedang berkemas kemas
Memastikan tak ada yang tertinggal disini selain rasa sakit
Mengepak alasan alasan yang kelak menjadikanku lebih kuat
Terimakasih telah memberiku tumpangan…
Selama satu tahun lebih aku tinggal ditempatmu, aku bahagia.. aku merasakan hidup..
Selama ini, tak pernah kupedulikan omongan orang yang tak suka dengan kebaikanmu menampungku
Rasa sakit ketika mendengar gunjingan mereka tak cukup kuat untuk membuatku pergi dari tempatmu
Karena saat itu aku tau, aku membuatmu bahagia dengan keberadaanku
Aku melihat senyummu ketika aku merepotkanmu sekalipun
Aku melihat linangan air matamu yang ingin memperbaiki semuanya saat kita bertengkar
Aku merasakan kebahagiaan ketika kau membahagiakanku
Dan , aku tak punya alasan sedikitpun untuk bertahan di tempatmu jika kau sudah tak nyaman dengan keberadaanku
Ketika kau mulai terganggu dengan kebiasaanku, dengan caraku
Aku harus pergi
Malam itu juga kuputuskan untuk pergi dari tempatmu
aku tak akan pergi jauh
aku masih berada disekitarmu…
bukan untuk melihatmu bahagia atau melihatmu mencariku
tapi untuk melatih hatiku, agar ia kuat melanjutkan semuanya
melanjutkan hidupku….
Menghadapi kenyataan..
Dengan atau tanpa berteduh di tempatmu, dihatimu..



Rabu, 17 Agustus 2011

KITA SUDAH MERDEKA DARI DULU!


Saya ingin mengucapkan selamat memperingati hari kemerdekaan bagi nusantara yang sebenarnya selalu merdeka.. selamat memerdekakan diri bagi seluruh umat.. salam kasih bagi semesta…
Bagi saya, meskipun bertentangan dengan paradigma umum mahasiswa yang mengebu gebu tentang kemerdekaan, kita telah lama merdeka.. jauh sebelum angka angka itu dituliskan..
Sebab merdeka itu berarti hak penuh untuk berusaha-mengusahakan kebutuhan bahkan mimpi dan harapan. Bukan menuntut kebijakan pemerintah untuk melonggarkan cekikan kelaparan, menengadahkan tangan untuk bantuan yang tak seberapa, menyalahkan koruptor atas dalil agama yang sama sekali tak relevan duengan hukum karena berbeda budaya dan letak geografis, dan bahkan menghakimi pemimpin dengan ucapan seorang anak kecil yatim piatu  yang tak mendapat jatah permen dari dermawan. Kita sudah merdeka!
Saya melihat salah satu monologue putu wijaya tentang kemerdekaan..
Ada seorang kakek mantan pejuang sedang mendengarkan siaran upacara bendera dari radio, lalu cucunya yang masih kecil mendatanginya
Cucu      : kakek… apakah kita sudah merdeka??
Kakek    : apa kau tak pernah diajari gurumu!! Tentu saja kita sudah merdeka!!
Cucu      : lalu mengapa kita masih miskin??? Bukankah seharusnya kita bisa makmur, adil merata sesuai dengan apa yang sudah diikrarkan proklamator dulu??? Bukanka Indonesia itu kaya kek?? Berarti kita belum merdeka!!
Kakek    : terdiam… kita sudah merdeka! Kita sudah merdeka! Merdeka itu berdiri di kaki sendiri! Bukan meminta bantuan! Bukan menyalahkan pemerintah! Merdeka berarti kau harus bertanggung jawab penuh untuk kebahagiaanmu! Kalau kau mau kaya, kerja!!!!!! MENGERTI????
Cucu      : Tidak! Aku tidak mengerti
Sang cucu mengatakan "tidak "sambil tetap mengangkat dagunya
Kakek: bagus!! Itu tandanya kau sudah merdeka!!

sebuah perenungan yang sebenarnya sederhana..

Sekali lagi, kita sudah merdeka kawan! Mari kita memerdekakan diri! Bertanggung jawab atas cita cita yang kita ikrarkan dalam hati sekalipun, berusaha memenuhi harapan, berhenti menyalahkan orang lain. KITA SUDAH MERDEKA!!!

Senin, 08 Agustus 2011

deskripsi hati di parangkusumo


Dalam hujan pagi seperti saat ini, pantai hanya memperlihatkan sedikit kecantikannya. Sisanya, segala macam rasa tak menentu yang  menampakkan kemuraman. Ya, muram. Langit muram. Entah rahasia apa lagi yang ia simpan. Ribuan bencana lagikah? Jutaan nyawa lagikah yang akan ia telan? Atau mungkin kiamat yang sebentar lagi datang! Ujung langit menyatu dengan pangkal laut yang terlihat, membaur dan sedikit terbatasi oleh horizon yang kali ini terlihat jelas.  Aku baru saja bangun dari meditasi pagiku. Sesuatu yang selalu aku lakukan setiap pagi selain sembahyang. Aku benci rutinitas, termasuk berdoa. Mengulang mengucapkan hal hal yang sama setiap hari. Memaksa Tuhan mengabulkan apa yang kita minta. Namun tidak untuk yang satu itu. Bagiku, meditasi bukanlah rutinitas. Selalu ada hal yang baru. Selalu ada sesuatu yang bisa kupelajari untuk dimaknai. Sebuah perjalanan jauh kedalam diri yang tak ada habis pesonanya. Setidaknya bisa memberikan nutrisi bagi rasa ingin tahuku akan segala hal. Membebaskanku dalam duniaku sendiri. Alamku, samudraku, langitku, semestaku. Aku suka laut, apapun wajah yang ia tawarkan. Apapun yang ia perbuat. Tsunami sekalipun, tetap membuatku terpukau. Dan dalam pagi selepas perjalanan panjang ke dalam diriku, aku memejamkan mata sekali lagi. Membuat tingkatan dalam fikiranku setelah nol tadi. Bagaimanapun juga aku bukanlah bayang-bayang. Aku hidup dalam dunia real yang penuh dengan pertumbukan dan pembalikan energi  oleh neuron pada milyaran makhluk hidup dalam setiap sudutnya. Aku masih memejamkan mataku untuk memberikan afirmasi kepada diriku sendiri bahwa segalanya akan berangsur-angsur membaik, seburuk apapun itu. Dan bahwa dunia luar tidak hanya dipenuhi oleh kejahatan dan keburukan. Tak akan kita menuai setitik rasa sakitpun kecuali kita yang menanamnya. Semuanya berjalan seperti itu, seteratur itu dalam semesta ini.
Aku bangkit dari duduk.  Menyandarkan punggungku pada salah satu tiang kayu bangunan yang entah aku sebut apa ini. Sebuah bangunan kayu 3x3 meter, 7meter dari tanah. Semacam gardu pandang mini yang berjarak 50 meter dari pantai. Pantai parangkusumo. Sebuah nama yang terasa mistis bagiku. Atau mungkin aku yang berlebihan. Entahlah. Aku memejamkan mataku sesaat, mencium aroma pantai yang bercampur dupa dan bunga bunga sesaji sisa tadi malam. Bukan rahasia lagi jika pantai ini memang menjadi tempat melakukan berbagai macam ritual oleh penduduk jogja maupun orang dari luar kota. Sangat jauh berbeda dengan pantai parangtritis yang hanya dikunjungi oleh para wisatawan  untuk berlibur.
Angin pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena matahari masih enggan juga untuk menampakkan wujudnya. Atau mungkin dia sedang tidak hadir pagi ini. Entahlah. Aku kembali menutup mataku. Meregangkan jari-jariku. Merasakan setiap aliran udara yang menelusup jauh di sela-sela tubuhku, dalam sudut terkecil sekalipun. Aku menghirup nafas panjang sebelum membuka mata. Lalu menghembuskannya perlahan, sambil mengafirmasikan bahwa segalanya akan segera selesai dengan jalan yang indah. Dan rasa sakit akan membawaku naik kelas dalam perjalanan kehidupan ini.
Ombak menghantam tepian tepat saat seekor bayi kepiting  merangkak naik ke permukaan pasir.  begitupula dengan aku. selalu kembali terjatuh ketika hampir berhasil berdiri. Atau aku yang mungkin terlalu nyaman berada dalam rasa sakit ini. Entahlah. Mungkin memang  aku sudah benar-benar berada dalam zona nyamanku, zona amanku. Sehingga aku bisa terus menyalahkan takdir atas rasa sakitku ini. Terkadang, mengenang sesuatu yang menyakitkan itu jauh lebih indah daripada menghadapi kenyataan. Aku lebih suka berada dalam ingatanku tentangnya sebelum alam merenggutnya secara paksa dari takdirku daripada harus menyadari bahwa orang yang aku cintai itu telah benar-benar kembali pada bumi.
Aku menulis di udara simbol-simbol yang hanya aku yang tahu maknanya. Membagikannya pada alam. Kembali memejamkan mata dan merasakan alam membalas symbol symbol cinta itu padaku. Seakan akan ia telah menyampaikannya kepada kekasihku. Aku sangat menyukai cara seperti ini. Caraku agar tetap bertahan di dunia yang serba tak kuketauhi dengan hanya hidup dalam duniaku sendiri.
Samar kudengar alunan flute jauh di pangkal telingaku. Suara yang tentu saja hanya bisa kudengar. Suara yang biasa kami dengar. Kami. Aku dan dia. Kembali kupejamkan mata agar aku bisa melihatnya dalam gelap mataku. Aku lebih menikmati saat dimana mataku terpejam, tapi tak terlelap. Saat dunia dan segala realitasnya mengabur menuju dunia dimana aku mendefinisikan segala hal dengan caraku. Aku punya definisi sendiri tentang waktu, pola rotasi dan revolusi bumi berikut tata surya, jarak, energi, massa, manusia, rasa….  semuanya. Ya, semuanya. Aku tidak main-main dalam menciptakan dunia impianku. Dunia ketika rasa sakit menjadi nikmat luar biasa, sama seperti ketika para seniman merasakan katarsis pasca berkaya. Nikmat yang mempesonakan, yang tak membuatku ingin beranjak darinya setelah lebih dari 4 tahun. Ahh…..
Awan berarak dari pusat langit lalu menyebar ke segala penjuru. Menyempurnakan gambaran ideal masa kanak-kanak.  Membingkai matahari yang akan purnama 4 jam lagi. Sinarnya masih lembut pagi ini. Aku menghirup kopi pahitku yang telah dingin. Tak lagi kurasakan getirnya, lidahku sudah resisten oleh segala macam rasa tak menyenangkan.
Kehidupan di pesisir Parangkusumo mulai bangun dari dormansi semalam. Menggeliat perlahan menyambut hari. Penduduk gusuran dari sepanjang pantai tak bernama 2km dari pantai ini mulai menikmati hidupnya diatas petak bangunan yang hingga kini belum jelas kepemilikannya. Pemerintah belum memenuhi janji mereka untuk segera memberikan surat tanah yang mereka tempati saat ini, sebagai ganti kenyamanan yang mereka tinggalkan dari rumah yang diwariskan oleh moyang mereka.
Aku mengemasi barangku, bersiap untuk kembali ke kehidupan nyata. Kuucapkan sampai jumpa pada sepetak alam dihadapanku. Aku akan kembali lagi kesini atau pada petak petak alam yang lain untuk kembali dapat terhubung dengan semestaku dalam jangka waktu yang belum ditentukan takdir. Aku akan kembali ketika memang harus kembali. Kuturuni  tangga kayu dengan perlahan sambil berhitung. Setiap hitungan akan membawaku semakin siap menghadapi dunia dan anomalinya. Aku melihat seseorang melambaikan tangannya padaku saat kuturuni tangga terakhir. Ia menungguku dari awal aku berada disini. Senyumnya menjanjikan ku keluar dari rasa sakit yang sebenarnya sangat kunikmati. Aku berjalan kearahnya, tersenyum padanya dan mengikuti tata cara manusia normal dalam menjalani hidup. Berpura-pura. Aku berpura pura bahagia dia berada disana. Berpura pura melanjutkan hidup….Hhhhh…….

Kamis, 04 Agustus 2011

ALIBI


Sebuah kesan
Sebuah rindu
Sebuah pembuktian
Ijinkan aku mengirisnya sedikit saja dulu
Sebelum semuanya benar benar berlalu
Dan jika nanti kau datang kesini
Kujadikan semua utuh lagi
Mengayak tempayak
Menyeduh belangga
Bukan
Tak sesia sia itu

SENJA DENGAN DUA KELELAWAR



KARYA: KIRDJOMULYO

Ismiyati, seorang gadis yang mencintai teman semasa kecilnya sekaligus saudara angkatnya, Suwarno. Meski banyak lelaki lain yang menawarkan cinta padanya, dan meski suwarno telah memilih wanita lain untuk dinikahinya, ismiyati tetap berpegang teguh pada cintanya. Kecemburuan ismiyati terhadan mursiwi, istri suwarno membuatnya mengucapkan kata-kata yang akhirnya mengarahkan tuduhan pelaku pembunuhan mursiwi kepada dirinya. Namun disitulah perasaan teruji. Ismiyati mengakui bahwa ia lah yang membunuh mursiwi, ia bahkan rela bila suwarno membunuhnya. Namun suwarno tak melakukan hal itu pada ismiyati, meskipun ia sangat marah dan membencinya sebelum akhirnya Ismail datang dan mengakui bahwa ialah sebenarnya pembunuh Mursiwi. Ismail menjelaskan bahwa selama ini sesungguhnya Mursiwi adalah seorang pembohong yang menawarkan cinta pada banyak orang, mengambil uangnya dan lari. Ketika ismail meninggalkan mereka, saat itulah suwarno sadar betapa ismiyati mencintainya.

PENGGALI INTAN



KARYA: KIRDJOMULYO

Dua orang sahabat yang merantau ke Kalimantan tengah sebagai penggali intan, sandjojo dari Jogjakarta dan siswadi dari bandung. Konflik terjadi ketika siswadi hampir putus asa dengan usaha mereka, sedangkan Sandjojo masih berambisi untuk mendapatkan intan apalagi mengingat dendamnya atas hidupnya yang selama ini ia anggap gagal. Sandjojo semakin bersemangat untuk mencari intan ketika ia melihat Sarbini, teman rantaunya juga yang bau mendapat intan sehari sebelumnya. sandjojo bersikeras berangkat menggali intan malam hari meski siswadi melarangnya. Ia berkata bahwa usahanya ini pun untuk kebaikan bersama, ia akan membagi hasilnya nanti dengan siswadi. Siswadi bersikeras melarang Sandjojo karena ia mengkhawatirkan keselmatan Sandjojo, tap Sandjojo menganggap lain, ia merasa Siswadi berniat menghalangi cita citanya. Sampai akhirnya nasib berkata lain, Sandjojo akhirnya menemukan intan. Siswadi ikut senang dan mengingatkan rencana kepulangan mereka seperti janji Sandjoyo sebelumnya, bahwa mereka akan pulang ketika mendapat intan. Namun harta menggelapkan mata Sandjojo, ia membatalkan rencana mereka. Ia menyuruh siswadi pulang sendiri dan membangun rumah di desa untuknya agar Sunarsih, gadis yang ia kira menolaknya dulu kembali mengejarnya dan ia bisa balas dendam dengan menyakiti Sunarsih. Pertengaran kembali terjadi karena siswadi menolak rencana Sandjojo, ia tetap ingin agar mereka pulang bersama. Namun itu malah membuat Sandjojo naik pitam, ia bahkan membatalkan janjinya yang akan member siswadi bekal untuk pulang. Siswadi kehabisan kesabaran karena niat baiknya selalu mendapat tanggapan dari Sandjojo. Ia akhirnya berniat untuk pulang dan meninggalkan Sandjojo di Kalimantan beserta ambisi-ambisinya. Ketika teengah berkemas-kemas ia dikejutkan oleh ketukan pintu yang ternyata Sunarsih, gadis yang dulu menolah Sandjojo. Sunarsih menyusul ke Kalimantan karena kerinduannya dengan Sandjojo dan ingin menjelaskan kesalahpahaman diantara mereka dahulu. Ia hanya bercanda ketika mengatakan ingin memiliki suami yang kaya, namun hal tersebut ditangkat lain oleh Sandjojo. Sandjojo mengira Sunarsih telah menolaknya. Oleh sebab  itu ia merantau ke Kalimantan untuk mencari uang dan kelak akan balas dendam kepada Sunarsih. Namun Sandjojo gelap mata, ia sama sekali tak menerima penjelasan orang lain. Ia bahkan tak menggubris Sunarsih. Ia membiarkan Sunarsih jatuh di lumpur ketika mengejarnya sebagai salah satu bentuk balas dendamnya. Kisah ini berakhir dengan teriakan histeris Sandjojo karena kehilangan intan yang ada di saku celananya.

TANDA SILANG



Karya             : EUGENE O’NEILL

Sebuah kisah tentang kapten kapal yang memiliki dua anak, darpo dan nani yang telah menjadi gila atas hal hal traumatic yang menimpanya. Terdampar di pulau terpencil, lalu pulang, istrinya sakit dan meninggal, lalu menunggu anak buah yang pergi berlayar untuk mengambil harta karun di pulau dimana ia terdampar dahulu tanpa pernah mau menerima kenyataan bahwa kapal miiknya telah karam dihempas ombak. Anak lelakinya yang buntung, darpo yang selama bertahun tahun percaya akan harta itu mulai meragukannya. Namun ketakutannya dan semua yang telah ayahnya jejalkan ke otaknya membuatnya menjadi gila perlahan. Dia  yang telah membakar peta harta karun yang diwariskan padanya, merasa ketakutan ketika ayahnya yang gila kembali membicarakan marlini (nama kapalnya) telah kembali. Kepercayaannya kembali tumbuh dalam bayang bayang ketakutannya sendiri. Darpo bahkan tak menghiraukan ayahnya yang terkena serangan jantung atas hal gila yang mereka percayai bersama demi mendapatkan kembali peta harta karun dari tangan ayahnya.