Senin, 08 Agustus 2011

deskripsi hati di parangkusumo


Dalam hujan pagi seperti saat ini, pantai hanya memperlihatkan sedikit kecantikannya. Sisanya, segala macam rasa tak menentu yang  menampakkan kemuraman. Ya, muram. Langit muram. Entah rahasia apa lagi yang ia simpan. Ribuan bencana lagikah? Jutaan nyawa lagikah yang akan ia telan? Atau mungkin kiamat yang sebentar lagi datang! Ujung langit menyatu dengan pangkal laut yang terlihat, membaur dan sedikit terbatasi oleh horizon yang kali ini terlihat jelas.  Aku baru saja bangun dari meditasi pagiku. Sesuatu yang selalu aku lakukan setiap pagi selain sembahyang. Aku benci rutinitas, termasuk berdoa. Mengulang mengucapkan hal hal yang sama setiap hari. Memaksa Tuhan mengabulkan apa yang kita minta. Namun tidak untuk yang satu itu. Bagiku, meditasi bukanlah rutinitas. Selalu ada hal yang baru. Selalu ada sesuatu yang bisa kupelajari untuk dimaknai. Sebuah perjalanan jauh kedalam diri yang tak ada habis pesonanya. Setidaknya bisa memberikan nutrisi bagi rasa ingin tahuku akan segala hal. Membebaskanku dalam duniaku sendiri. Alamku, samudraku, langitku, semestaku. Aku suka laut, apapun wajah yang ia tawarkan. Apapun yang ia perbuat. Tsunami sekalipun, tetap membuatku terpukau. Dan dalam pagi selepas perjalanan panjang ke dalam diriku, aku memejamkan mata sekali lagi. Membuat tingkatan dalam fikiranku setelah nol tadi. Bagaimanapun juga aku bukanlah bayang-bayang. Aku hidup dalam dunia real yang penuh dengan pertumbukan dan pembalikan energi  oleh neuron pada milyaran makhluk hidup dalam setiap sudutnya. Aku masih memejamkan mataku untuk memberikan afirmasi kepada diriku sendiri bahwa segalanya akan berangsur-angsur membaik, seburuk apapun itu. Dan bahwa dunia luar tidak hanya dipenuhi oleh kejahatan dan keburukan. Tak akan kita menuai setitik rasa sakitpun kecuali kita yang menanamnya. Semuanya berjalan seperti itu, seteratur itu dalam semesta ini.
Aku bangkit dari duduk.  Menyandarkan punggungku pada salah satu tiang kayu bangunan yang entah aku sebut apa ini. Sebuah bangunan kayu 3x3 meter, 7meter dari tanah. Semacam gardu pandang mini yang berjarak 50 meter dari pantai. Pantai parangkusumo. Sebuah nama yang terasa mistis bagiku. Atau mungkin aku yang berlebihan. Entahlah. Aku memejamkan mataku sesaat, mencium aroma pantai yang bercampur dupa dan bunga bunga sesaji sisa tadi malam. Bukan rahasia lagi jika pantai ini memang menjadi tempat melakukan berbagai macam ritual oleh penduduk jogja maupun orang dari luar kota. Sangat jauh berbeda dengan pantai parangtritis yang hanya dikunjungi oleh para wisatawan  untuk berlibur.
Angin pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena matahari masih enggan juga untuk menampakkan wujudnya. Atau mungkin dia sedang tidak hadir pagi ini. Entahlah. Aku kembali menutup mataku. Meregangkan jari-jariku. Merasakan setiap aliran udara yang menelusup jauh di sela-sela tubuhku, dalam sudut terkecil sekalipun. Aku menghirup nafas panjang sebelum membuka mata. Lalu menghembuskannya perlahan, sambil mengafirmasikan bahwa segalanya akan segera selesai dengan jalan yang indah. Dan rasa sakit akan membawaku naik kelas dalam perjalanan kehidupan ini.
Ombak menghantam tepian tepat saat seekor bayi kepiting  merangkak naik ke permukaan pasir.  begitupula dengan aku. selalu kembali terjatuh ketika hampir berhasil berdiri. Atau aku yang mungkin terlalu nyaman berada dalam rasa sakit ini. Entahlah. Mungkin memang  aku sudah benar-benar berada dalam zona nyamanku, zona amanku. Sehingga aku bisa terus menyalahkan takdir atas rasa sakitku ini. Terkadang, mengenang sesuatu yang menyakitkan itu jauh lebih indah daripada menghadapi kenyataan. Aku lebih suka berada dalam ingatanku tentangnya sebelum alam merenggutnya secara paksa dari takdirku daripada harus menyadari bahwa orang yang aku cintai itu telah benar-benar kembali pada bumi.
Aku menulis di udara simbol-simbol yang hanya aku yang tahu maknanya. Membagikannya pada alam. Kembali memejamkan mata dan merasakan alam membalas symbol symbol cinta itu padaku. Seakan akan ia telah menyampaikannya kepada kekasihku. Aku sangat menyukai cara seperti ini. Caraku agar tetap bertahan di dunia yang serba tak kuketauhi dengan hanya hidup dalam duniaku sendiri.
Samar kudengar alunan flute jauh di pangkal telingaku. Suara yang tentu saja hanya bisa kudengar. Suara yang biasa kami dengar. Kami. Aku dan dia. Kembali kupejamkan mata agar aku bisa melihatnya dalam gelap mataku. Aku lebih menikmati saat dimana mataku terpejam, tapi tak terlelap. Saat dunia dan segala realitasnya mengabur menuju dunia dimana aku mendefinisikan segala hal dengan caraku. Aku punya definisi sendiri tentang waktu, pola rotasi dan revolusi bumi berikut tata surya, jarak, energi, massa, manusia, rasa….  semuanya. Ya, semuanya. Aku tidak main-main dalam menciptakan dunia impianku. Dunia ketika rasa sakit menjadi nikmat luar biasa, sama seperti ketika para seniman merasakan katarsis pasca berkaya. Nikmat yang mempesonakan, yang tak membuatku ingin beranjak darinya setelah lebih dari 4 tahun. Ahh…..
Awan berarak dari pusat langit lalu menyebar ke segala penjuru. Menyempurnakan gambaran ideal masa kanak-kanak.  Membingkai matahari yang akan purnama 4 jam lagi. Sinarnya masih lembut pagi ini. Aku menghirup kopi pahitku yang telah dingin. Tak lagi kurasakan getirnya, lidahku sudah resisten oleh segala macam rasa tak menyenangkan.
Kehidupan di pesisir Parangkusumo mulai bangun dari dormansi semalam. Menggeliat perlahan menyambut hari. Penduduk gusuran dari sepanjang pantai tak bernama 2km dari pantai ini mulai menikmati hidupnya diatas petak bangunan yang hingga kini belum jelas kepemilikannya. Pemerintah belum memenuhi janji mereka untuk segera memberikan surat tanah yang mereka tempati saat ini, sebagai ganti kenyamanan yang mereka tinggalkan dari rumah yang diwariskan oleh moyang mereka.
Aku mengemasi barangku, bersiap untuk kembali ke kehidupan nyata. Kuucapkan sampai jumpa pada sepetak alam dihadapanku. Aku akan kembali lagi kesini atau pada petak petak alam yang lain untuk kembali dapat terhubung dengan semestaku dalam jangka waktu yang belum ditentukan takdir. Aku akan kembali ketika memang harus kembali. Kuturuni  tangga kayu dengan perlahan sambil berhitung. Setiap hitungan akan membawaku semakin siap menghadapi dunia dan anomalinya. Aku melihat seseorang melambaikan tangannya padaku saat kuturuni tangga terakhir. Ia menungguku dari awal aku berada disini. Senyumnya menjanjikan ku keluar dari rasa sakit yang sebenarnya sangat kunikmati. Aku berjalan kearahnya, tersenyum padanya dan mengikuti tata cara manusia normal dalam menjalani hidup. Berpura-pura. Aku berpura pura bahagia dia berada disana. Berpura pura melanjutkan hidup….Hhhhh…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar