Satya Graha hurip lahir di Lamongan,
Jawa Timur, 7 April 1934, dari keluarga priyayi di Jawa Timur. Tamat SMA-A
Malang (1953), melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia, Universitas
Gadjah Mada dan Universitas Padjadjaran, namun ketiganya tidak tamat. Tahun
1972-1973, ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa
City, Amerika Serikat.
Oyik, nama panggilannya, pernah bekerja di Koran mingguan Minggu (Yogyakarta), Penerbit Ganaco (Bandung), Sekretariat Kedutaan Besar Aljazair di Jakarta, Harian Kami (1966-1967), Harian Sinar Harapan (1967-1980), Penerbit Sinar Harapan (1980-1984) dan majalah Swasembada (1985-1986). Sempat menjadi dosen tamu pada Indonesian Studies Summer Institute, University Ohio, Athens, Amerika Serikat (1982)
Cerpennya Seorang Buruan”mendapat Hadiah Hiburan majalah Sastra tahun 1961, sedangkan cerpennya yang lain, Sebelum yang Terakhir, mendapat pujian dari redaksi majalah Horison tahun 1968. Karyanya yang lain : Bisma Banteng Mayapada (cerita wayang, 1960), Sepasang Suami Isteri (novel, 1964), Burung Api (cerita anak, 1970), Tentang Delapan Orang (kumpulan cerpen, 1980), Sesudah Bersih Desa (kumpulan cerpen, 1989), Gedono Gedini (kumpulan cerpen, 1990), dan Sarinah Kembang Cikembang (kumpulan cerpen, 1993).
Menjadi editor pada buku : Antologi Esei Tentang Persoalan Sastra (Bungai Rampai, 1969, ditahun 1982, terbit dalam edisi yang telah di revisi dengan judul : Sejumlah Masalah Sastra), Cerita Pendek Indonesia 1-4 (kumpulan cerpen, 1979, tahun 1986 terbit dalam edisi yang di revisi), Jakarta : 30 Cerita Pendek Indonesia (Kuala Lumpur, 1982), New York After Midnight (kumpulan cerpen, 1991), Circumsion : Indonesia Stories (kumpulan cerpen, 1993) dan Our Heritage (kumpulan cerpen, 1993). Selain itu ia juga menerjemahkan novel karangan Leo Tolstoy Keperluan Hidup Manusia (1963).
Oyik, nama panggilannya, pernah bekerja di Koran mingguan Minggu (Yogyakarta), Penerbit Ganaco (Bandung), Sekretariat Kedutaan Besar Aljazair di Jakarta, Harian Kami (1966-1967), Harian Sinar Harapan (1967-1980), Penerbit Sinar Harapan (1980-1984) dan majalah Swasembada (1985-1986). Sempat menjadi dosen tamu pada Indonesian Studies Summer Institute, University Ohio, Athens, Amerika Serikat (1982)
Cerpennya Seorang Buruan”mendapat Hadiah Hiburan majalah Sastra tahun 1961, sedangkan cerpennya yang lain, Sebelum yang Terakhir, mendapat pujian dari redaksi majalah Horison tahun 1968. Karyanya yang lain : Bisma Banteng Mayapada (cerita wayang, 1960), Sepasang Suami Isteri (novel, 1964), Burung Api (cerita anak, 1970), Tentang Delapan Orang (kumpulan cerpen, 1980), Sesudah Bersih Desa (kumpulan cerpen, 1989), Gedono Gedini (kumpulan cerpen, 1990), dan Sarinah Kembang Cikembang (kumpulan cerpen, 1993).
Menjadi editor pada buku : Antologi Esei Tentang Persoalan Sastra (Bungai Rampai, 1969, ditahun 1982, terbit dalam edisi yang telah di revisi dengan judul : Sejumlah Masalah Sastra), Cerita Pendek Indonesia 1-4 (kumpulan cerpen, 1979, tahun 1986 terbit dalam edisi yang di revisi), Jakarta : 30 Cerita Pendek Indonesia (Kuala Lumpur, 1982), New York After Midnight (kumpulan cerpen, 1991), Circumsion : Indonesia Stories (kumpulan cerpen, 1993) dan Our Heritage (kumpulan cerpen, 1993). Selain itu ia juga menerjemahkan novel karangan Leo Tolstoy Keperluan Hidup Manusia (1963).
Satyagraha Hoerip juga menulis skenario film, Palupi (1970) yang di filmkan oleh Asrul Sani dan Di Antara Dua Dunia (1980) difilmkan oleh Teguh Karya. Sastrawan yang masih kerabat jauh Bung Karno ini wafat di Jakarta 14 Oktober 1998.
PROSES KREATIF SATYA GRAHA HURIP
Seperti kebanyakan penulis lain,
Satya Graha Hurip menggunakan metode “blasteran” yaitu menggabungkan imajinasi
dan realita sehari-hari yang dia alami atau yang dia amati. Sebagai sosok yang
kritis, dia berusaha menuangkan segala kegelisahannya dalam bentuk tulisan
sebagai bentuk protes dari segala sesuatu yang menurutnya “tidak sesuai”
Pada cerpennya “Salju kapas Putih”
yang ia tulis pada tahun 1960, dia menggabungkan antara kegelisahannya dengan
korupsi yang merajalela pada saat itu, dengan keterpesonaannya pada Jepang dari
buku panduan pariwisata Jepang yang diterimanya dari seorang kawan. Dua hal itu
lah yang yang menjadi pokok “pengganggu” fikiran Satya Graha hurip. Lalu pada
suatu waktu. Sepupunya mengundangnya untuk menginap di hotel Homann, Bandung.
Namun entah bagaimana sepupunya lupa telah berjanji padanya, sehingga dia
menunggu cukup lama di lobby hotel. Selama menunggu, dia mengamati banyak
perempuan muda yang keluar masuk hotel. Lalu ada satu perempuan yang sangat
cantik dan Nampak “berkelas” berada disana. Dia hanya mengamati dan
bertanya-tanya dalam hati. Sampai saat beberapa pelayan pria di hotel itu juga
membicarakan wanita cantik itu tadi. Ternyata wanita itu adaah seorang janda
muda yang memiliki anak kecl-kecil  dan
suaminya tewas terbunuh gerombolan perampok. Baiklah, nuraninya terusik. Siapa
yang salah?
Ketiga hal yang menggangu fikirannya
itu yang kemudian menjadi landasan berprosesnya. Dia ingin menulis tentang
seorang perempuan bangsawan, dengan latar Jepang (dengan pengetahuan hanya dari
buku panduan wisata ia ingin mengelabuhi pembaca, seolah olah dia benar-enar
pernah pergi kesana), dan ada keterkaitan dengan kasus korupsi. Lalu lahirlah
cerpen “Salju Kapas Putih”.
Namun, pada tahun 1978 ketika
akhirnya Satya Graha hurip mendapat kesempatan untuk berjalan jalan di jepang
dia terkejut. Ternyata dia telah membuat kesalahan fatal. Di Jepang tidak ada
kasus korupsi yang merajalela seperti di Indonesia karena rakyat jepang sangat
menghormati leluhur. Jika ada yang melakukan hal itu, maka mereka akan memilih
jalan “hara-kiri” atau “seppuku” karena malu pada leluhur dan pada anak cucu. Namun
soal setting tempat, semuanya mirip seperti imajinasinya tentang Jepang 18
tahun sebelumnya.
Pada karya selanjutnya, cerpan
(cerita pendek yang panjang) berjudul “pengarang”, Satya Graha Hurip
menceritakan tokoh berdasarkan realitas para intelektual yang idealis dan
enggan menjadi kaki-tangan Jepang sementara kenyataan terus berjalan. Kebutuhan
harus tetap dipenuhi. Imajinasinya mengarahkannya pada sebuah tokoh-seorang
intelektual- yang idealis dan terpaksa menumpang hidup pada adiknya yang hanya
seorang kondektur dengan anak yang masih kecil-kecil. Sebuah tokoh rekaan yang
mungkin saja terjadi pada saat itu. Imajinasi yang dikawinkan dengan realitas.
Keduanya diramu dalam keadaan sadar dan tak sadar.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar