A.   
Sejarah Kelompok Kesenian
Kelompok
kesenian Langen Mandrawanara muncul pada sekitar tahun 30’ an di desa
Sembungan, Kasihan, Bantul. Kesenian ini digagas oleh K.P.H.A. Danureja
VII  sekitar dua puluh tahun sebelumnya.
Langen Mandrawanara muncul karena sang patih K.P.H.A. Danureja VII   yang saat itu masih bergelar K.P.H.
Yudanegara III ingin memberikan masyarakat luar keraton sebuah pertunjukan.
Pada masa itu semua kesenian masih berpusat di keraton, seperti Wayang Wong,
wayang, Tari, dll. Raja mengijinkan K.P.H. Yudanegara III untuk membawa keluar
kesenian tersebut dengan syarat semua bentuk yang dipertunjukkan haruslah
berbeda dengan yang ada di keraton. Sang Patih kemudian menggagas bentuk
kesenian tersebut. Langen Mandrawanara adalah bentu kesenian rakyat dari Wayang
Wong yang hanya boleh dipertunjukkan di lingkungan Istana.  Maka sang patih bersama sahabatnya K.R.T Joyopermadi
memprakarsai sebuah kelompok seni yang baru dinamai sekitar tahun 1970 dengan
Paguyuban Langen Mudha Mandra Budaya di desa Sembungan, Kasihan, Bantul. 
B.    
Anggota Kelompok Kesenian
Pada
awal berdirinya kelompok, anggota dari kelompok ini adalah sebagian besar warga
desa Sembungan, Kasihan, Bantul. Keanggotaan pun mulai turun dari satu generasi
selanjutnya. Disini, keanggotaan biasanya berdasarkan hubungan keluarga. Karena
sang ayah anggota, maka anak pun ingin ikut/ disuruh ikut kelompok Langen
Mandra Wanara ini. Siapapun boleh bergabung 
ke kelompok ini. Tidak ada batasan usia maupun syarat-syarat khusus.
Cukup punya kemaun untuk bergabung, maka diijinkan utuk menjadi anggota. 
C.    
Pelaksanaan pergelaran Langen
Mandrawanara
Pergelaran
Langen Mandrawanara biasanya dipentaskan untuk acara-acara rakyat. Tidak ada
aturan khusus harus pada bulan dan tanggal tertentu. Dan oleh karena ini adalah
kesenian rakyat, maka biasanya pergelaran ini dipertunjukkan pada acara rakyat
seperti tujuh belasan, bersih desa, untuk hiburan di acara hajatan, dan sebagainya.
D.   
Ruang dan Waktu Pergelaran Langen
Mandrawanara
Langen
Mandrawanara adalah sebuah pertunjukan rakyat yang fleksibel, bisa diadakan di
dalam maupun diluar ruangan. Setting dan blocking pemain pun juga menyesuaikan
tempat pertunjukan. Batasan yang diciptakan dalam “ruang” permainan dan
penonton ada, namun tidak jelas. Jika di lar ruangan, penonton biasanya meyebar
di seliling tempat pertunjukan. 
Pergelaran
Langen Mandrawanara pada awalnya dipentaskan semalam suntuk, seperti wayang
kulit. Namun seirin berjalannya waktu, pertunjukan ini pun mampu beradaptas
dengan keadaan I zaman. Pertunjukan ini bisa diadakan sesuai dengan “pesanan”.
Dari awalnya yang kurang lebih 7 jam, lalu bisa dikemas menjadi 2 jam, 1 jam,
dan bahkan setengah jam. Selain durasi, waktu dalam pertunjukan ini pun dapat
disesuaikan. Berawal dari semalam suntuk yang berarti dimulai hingga pagi, kini
pertunjukan ini bisa dinikmati siang atau sore hari. 
Para
pelaku kesenian mandranawara membutuhkan waktu minimal dua minggu sebelum
pementasan untuk melakukan latihan. 
E.    
Penyajian Langen Mandrawanara
Langen
Mandrawanara diawali dengan keprak yang dibunyikan oleh dalang. Lalu
dilanjutkan dengan lagon atau tetembangan atau lagu dalam bahasa Indonesia.
Kemudian disambung dengan tari Beksan dan kandha atau penuturan cerita oleh
dalang langen mandrawanara. 
Lakon-lakon
yang dibawakan pada pertunjukan langen mandrawanara bersumber dari cerita
Ramayana. Dimulai dari Shinta diculik Rahwana sampai pada bagian Shinta
membakar diri (Shinta Obong). Bagian semasa kecil Shinta, Rama, Rahwana tidak
diceritakan. Demikian juga cerita sesudah Shinta Obong. Dalam  satu kali pementasan biasanya dipentaskan
satu sampai tiga bagian cerita, bagian-bagian cerita itu antara lain Subali
Lena,Subali Gugur,  Senggana Duta,
Rahwana Gugur, dan lain sebagainya. Pemilihan lakon yang akan dibawakan
biasanya tergantung “pemesan’ atau dipilih langsung oleh dalang. 
Meskipun
Langen Mandrawanara terkadang dipentaskan diluar ruangan, namun tidak ada
interaksi yang tercipta antara pertunjukan dan penonton .  jadi apresiasi penonton biasanya disampaikan
langsung kepada para pemain seusai pertunjukan. Namun demikian, penyampaian
apresiasi berupa pujian, kritik, ataupun saran sangat jarang terjadi. 
F.     
Langen Mandrawanara dan Masyarakat
“Paguyuban
Langen Mudha Mandra Budaya” ini adalah kelompok kesenian yang berada di tengah
masyarakat. Maka mau tak mau kelompok atau paguyuban ini harus menjalin
hubungan yang baik dengan masyarakat agar dapatn berjalan beriringan bahkan
saling mendukung. Berada di tengah desa Sembungan, Kasihan, Bantul, kelompok
kesenian ini beranggotakan masyarakat sekitar. Bahkan di desa Sembungan hampir
pada setiap Kepala Keluarga terdapat minimal satu anggota keluarganya yang
menjadi anggota Langen Mandrawanara. Keanggotaan kelompok ini biasanya turun
temurun. Seperti ketuanya saat ini, bapak Juwaraya, beliau adalah generasi ke 3
dalam keluarganya. Kakeknya, ayah dan paman-pamannya, serta saudara
laki-lakinya semua adalah anggota Paguyuban 
Langen Mudha Mandra Budaya ini. Bahkan saat ini, Bapak Juwaraya,
berusaha menambah inventaris paguyuban dengan membeli seperangkat gamelan dari
uang pribadinya. Dana pensiun dan tabungannya sebagai pegawai negri ia belikan
Gamelan yang harganya mencapai ratusan juta rupiah. Bila kebanyakan orang
membelikan uang pension dan tabungannya untuk rumah dan mobil, beliau tidak
keberatan menghibahkannya demi kelestarian kesenian ini. 
Kelompok
kesenian ini bertahan dengan caranya tersendiri. Kelompok ini sama sekali tidak
mendapatkan dana bantuan dari pemerintah ataupun dari sponsor. Pemainnya, yang
juga adalah anggota dari masyarakat sekitar memiliki pekerjaan utama sebagai
sumber penghasilan tetap. Meskipun mendapatkan honor saat bermain, namun
menjadi seorang pemain Langen Mandrawanara tidak dapat dijadikan suber
penghasilan utama. Honor ynag didapat sangat jauh dari cukup untuk dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari. 
Saat
ini, kelompok ini tidak mendapatkan order sebanyak seperti dahulu ketika
hiburan belum terlalu banyak. Pernah mereka hanya bermain sekali dalam setahun.
Namun bila dirata-rata mereka pentas tiga kali setahun. 
Jadi, sebagai satu-satunya kelompok yang bermain
Langen Mandrawanara, mereka mempertahankan kelompok ini hanya karena mereka
mencintainya. Mencintai Langen Mandrawanara dengan rintangan dan hambatan yang
jelas terbentang. Jika pada suatu saat mereka berhenti, atau tidak ada generasi
penerus yang mampu dan mau mempertahankan kesenian ini, maka kesenian ini
otomatis akan punah. 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar