Jumat, 08 Juni 2012

LANGEN MANDRAWANARA



A.    Sejarah Kelompok Kesenian
Kelompok kesenian Langen Mandrawanara muncul pada sekitar tahun 30’ an di desa Sembungan, Kasihan, Bantul. Kesenian ini digagas oleh K.P.H.A. Danureja VII  sekitar dua puluh tahun sebelumnya. Langen Mandrawanara muncul karena sang patih K.P.H.A. Danureja VII   yang saat itu masih bergelar K.P.H. Yudanegara III ingin memberikan masyarakat luar keraton sebuah pertunjukan. Pada masa itu semua kesenian masih berpusat di keraton, seperti Wayang Wong, wayang, Tari, dll. Raja mengijinkan K.P.H. Yudanegara III untuk membawa keluar kesenian tersebut dengan syarat semua bentuk yang dipertunjukkan haruslah berbeda dengan yang ada di keraton. Sang Patih kemudian menggagas bentuk kesenian tersebut. Langen Mandrawanara adalah bentu kesenian rakyat dari Wayang Wong yang hanya boleh dipertunjukkan di lingkungan Istana.  Maka sang patih bersama sahabatnya K.R.T Joyopermadi memprakarsai sebuah kelompok seni yang baru dinamai sekitar tahun 1970 dengan Paguyuban Langen Mudha Mandra Budaya di desa Sembungan, Kasihan, Bantul.

B.     Anggota Kelompok Kesenian
Pada awal berdirinya kelompok, anggota dari kelompok ini adalah sebagian besar warga desa Sembungan, Kasihan, Bantul. Keanggotaan pun mulai turun dari satu generasi selanjutnya. Disini, keanggotaan biasanya berdasarkan hubungan keluarga. Karena sang ayah anggota, maka anak pun ingin ikut/ disuruh ikut kelompok Langen Mandra Wanara ini. Siapapun boleh bergabung  ke kelompok ini. Tidak ada batasan usia maupun syarat-syarat khusus. Cukup punya kemaun untuk bergabung, maka diijinkan utuk menjadi anggota.

C.     Pelaksanaan pergelaran Langen Mandrawanara

Pergelaran Langen Mandrawanara biasanya dipentaskan untuk acara-acara rakyat. Tidak ada aturan khusus harus pada bulan dan tanggal tertentu. Dan oleh karena ini adalah kesenian rakyat, maka biasanya pergelaran ini dipertunjukkan pada acara rakyat seperti tujuh belasan, bersih desa, untuk hiburan di acara hajatan, dan sebagainya.

D.    Ruang dan Waktu Pergelaran Langen Mandrawanara

Langen Mandrawanara adalah sebuah pertunjukan rakyat yang fleksibel, bisa diadakan di dalam maupun diluar ruangan. Setting dan blocking pemain pun juga menyesuaikan tempat pertunjukan. Batasan yang diciptakan dalam “ruang” permainan dan penonton ada, namun tidak jelas. Jika di lar ruangan, penonton biasanya meyebar di seliling tempat pertunjukan.
Pergelaran Langen Mandrawanara pada awalnya dipentaskan semalam suntuk, seperti wayang kulit. Namun seirin berjalannya waktu, pertunjukan ini pun mampu beradaptas dengan keadaan I zaman. Pertunjukan ini bisa diadakan sesuai dengan “pesanan”. Dari awalnya yang kurang lebih 7 jam, lalu bisa dikemas menjadi 2 jam, 1 jam, dan bahkan setengah jam. Selain durasi, waktu dalam pertunjukan ini pun dapat disesuaikan. Berawal dari semalam suntuk yang berarti dimulai hingga pagi, kini pertunjukan ini bisa dinikmati siang atau sore hari.
Para pelaku kesenian mandranawara membutuhkan waktu minimal dua minggu sebelum pementasan untuk melakukan latihan.
E.     Penyajian Langen Mandrawanara
Langen Mandrawanara diawali dengan keprak yang dibunyikan oleh dalang. Lalu dilanjutkan dengan lagon atau tetembangan atau lagu dalam bahasa Indonesia. Kemudian disambung dengan tari Beksan dan kandha atau penuturan cerita oleh dalang langen mandrawanara.
Lakon-lakon yang dibawakan pada pertunjukan langen mandrawanara bersumber dari cerita Ramayana. Dimulai dari Shinta diculik Rahwana sampai pada bagian Shinta membakar diri (Shinta Obong). Bagian semasa kecil Shinta, Rama, Rahwana tidak diceritakan. Demikian juga cerita sesudah Shinta Obong. Dalam  satu kali pementasan biasanya dipentaskan satu sampai tiga bagian cerita, bagian-bagian cerita itu antara lain Subali Lena,Subali Gugur,  Senggana Duta, Rahwana Gugur, dan lain sebagainya. Pemilihan lakon yang akan dibawakan biasanya tergantung “pemesan’ atau dipilih langsung oleh dalang.
Meskipun Langen Mandrawanara terkadang dipentaskan diluar ruangan, namun tidak ada interaksi yang tercipta antara pertunjukan dan penonton .  jadi apresiasi penonton biasanya disampaikan langsung kepada para pemain seusai pertunjukan. Namun demikian, penyampaian apresiasi berupa pujian, kritik, ataupun saran sangat jarang terjadi.

F.      Langen Mandrawanara dan Masyarakat
“Paguyuban Langen Mudha Mandra Budaya” ini adalah kelompok kesenian yang berada di tengah masyarakat. Maka mau tak mau kelompok atau paguyuban ini harus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat agar dapatn berjalan beriringan bahkan saling mendukung. Berada di tengah desa Sembungan, Kasihan, Bantul, kelompok kesenian ini beranggotakan masyarakat sekitar. Bahkan di desa Sembungan hampir pada setiap Kepala Keluarga terdapat minimal satu anggota keluarganya yang menjadi anggota Langen Mandrawanara. Keanggotaan kelompok ini biasanya turun temurun. Seperti ketuanya saat ini, bapak Juwaraya, beliau adalah generasi ke 3 dalam keluarganya. Kakeknya, ayah dan paman-pamannya, serta saudara laki-lakinya semua adalah anggota Paguyuban  Langen Mudha Mandra Budaya ini. Bahkan saat ini, Bapak Juwaraya, berusaha menambah inventaris paguyuban dengan membeli seperangkat gamelan dari uang pribadinya. Dana pensiun dan tabungannya sebagai pegawai negri ia belikan Gamelan yang harganya mencapai ratusan juta rupiah. Bila kebanyakan orang membelikan uang pension dan tabungannya untuk rumah dan mobil, beliau tidak keberatan menghibahkannya demi kelestarian kesenian ini.
Kelompok kesenian ini bertahan dengan caranya tersendiri. Kelompok ini sama sekali tidak mendapatkan dana bantuan dari pemerintah ataupun dari sponsor. Pemainnya, yang juga adalah anggota dari masyarakat sekitar memiliki pekerjaan utama sebagai sumber penghasilan tetap. Meskipun mendapatkan honor saat bermain, namun menjadi seorang pemain Langen Mandrawanara tidak dapat dijadikan suber penghasilan utama. Honor ynag didapat sangat jauh dari cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat ini, kelompok ini tidak mendapatkan order sebanyak seperti dahulu ketika hiburan belum terlalu banyak. Pernah mereka hanya bermain sekali dalam setahun. Namun bila dirata-rata mereka pentas tiga kali setahun.
Jadi, sebagai satu-satunya kelompok yang bermain Langen Mandrawanara, mereka mempertahankan kelompok ini hanya karena mereka mencintainya. Mencintai Langen Mandrawanara dengan rintangan dan hambatan yang jelas terbentang. Jika pada suatu saat mereka berhenti, atau tidak ada generasi penerus yang mampu dan mau mempertahankan kesenian ini, maka kesenian ini otomatis akan punah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar