Aku adalah orang yang sangat percaya dan berusaha meraih mimpi meski aku jarang bisa benar-benar bermimpi. Aku bukan sangat pandai, namun aku cerdik dan punya nafas lumayan panjang untuk meraih mimpiku. Tidurku selalu nyenyak. Aku terlalu lelah menjalani hari-hariku. Aku tak sempat bermimpi. Jika dihitung, mungkin aku hanya bermimpi sekali dalam beberapa bulan. Pernah juga lebih sering, aku bermimpi 2 minggu sekali selama 3 bulan berturut-turut, ketika negeri ini sering terkena bencana ataupun ancaman kudeta. Dari kecil, aku tak pernah bangga menang lomba tingkat kabupaten, propinsi, bahkan nasional. Penghargaan dari presiden pun tidak membuat mataku berbinar-binar. Memang seharusnya itulah yang kudapat, sebagai siswa kelas 6 sd waktu itu , yang punya mimpi. 
“berapa gaji seorang bupati?” tanyaku pada ibu sambil menggambar dua gunung dengan satu matahari. Ibu menyebutkan nominal yang jumlahnya puluhan kali lipat dari gaji ayahku. Aku tersenyum sinis, “mengurusi orang sebanyak itu cuma digaji segitu?” ejekku dengan mulut penuh makanan yang disuapi ibu. Aku ingat betul bagaimana ekspresi ibu mendengar ucapanku. “sudah.. ayo berangkat sekolah” jawab ibu sambil mengeluarkan sepeda motor untuk mengantarku ke tk paling hebat di kota kecil ini. “jangan bermimpi terlalu tinggi! Kamu harus bercermin! Kamu itu anak orang miskin dan sama sekali tidak cantik!” bentak ayahku saat aku menutup dengan sadis telepon dari anak pemilik pabrik shuttlecock. Aku mendengus. “dia terlalu bodoh… gak level!” aku berlari menuju kamar remajaku sebelum mendengar jawaban ayahku. 
“aku juara satu” kataku setengah berteriak pada ayahku saat sampai dirumah. “bukankah sudah  semestinya begitu?”, jawab ayahku. Matanya tak lepas dari televisi. Aku diam dan membuka kembali tulisan di lembar pertama buku rapor tebalku. Siang itu, di tahun ke enam  hidupku aku belajar untuk tidak pernah mengharap ucapan selamat dari siapapun atas apapun yang aku lakukan. Apapun yang aku capai. Sudah semestinya begitu. 
Aku iri melihat temanku bercerita tentang mimpinya. Dia bercerita memasuki rumah yang terbuat dari gula-gula kapas, sehingga dia bisa memakan dindingnya, pegangan pintunya, bahkan toiletnya. Ketika beranjak dewasa aku iri ketika temanku yang lain bercerita bahwa dia bermimpi bertemu dengan bintang film korea. Seketika yang lain menimpali, pernah bermimpi bertemu artis ibukota lah, kakak kelas taksirannya lah, bintang bokep lah. Sedangkan aku? aku membuka kembali jurnal mimpiku. Terakhir aku bermimpi 3 bulan yang lalu. Aku bermimpi mellihat sumur yang airnya meluap, hal yang mustahil dan sama sekali tidak indah. Aku memang menulis semua mimpiku. Tak sulit, karena sampai dengan saat ini, aku bermimpi tak lebih dari 100 kali. 
“Dion datang kemari. Ini malam minggu, dia pacarmu? “ ibu tiba-tiba sudah di depan pintu. “oo.. bukan bu. Aku cuma mau menyuruhnya mengantarku ke ulang tahun Citra”. Ibu mengernyitkan dahi, “jangan dipermainkan, dia anak kepala polisi di daerah ini. Ibu malu kalau sampai kamu membuat masalah, bisa-bisa digunjingkan orang sekampung”. Aku mendengus “dia Cuma anak Kapolsek”. “ayahmu tukang bengkel”. “tapi aku bukan!”. Lagi-lagi ibu menghela nafas. 
Aku merasa lepas dari keterikatan waktu ketika tidur. Tanpa mimpi. Tanpa tau berapa waktu yang sebenarnya aku habiskan. Tidur dua jam atau delapan jam bagiku sama saja. Sama-sama seperti sedetik menutup mata, lalu terbangun dan segar. Jadi, kalau aku tidur delapan jam sehari, aku akan rugi besar. Karena ada banyak sekali hal yang harus aku krjakan. Yang harus aku fikirkan. Yang harus aku impikan dengan mata terbuka. 
Kini usiaku hampir 20 tahun. Belum ada kesuksesan yang benar-benar kucapai. Tapi aku tahu aku akan. Karena aku jarang sempat bermimpi dan serius mengejar mimpi. Ya, kita lihat saja nanti!!
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar