Jumat, 28 Oktober 2011

MERINDU



Dalam logikaku (yang serba berperasaan) tak ada kebetulan. Semua hal terjadi karena suatu sebab, suatu maksud. Tak mungkin aku tersandung pagi ini jka tidak untuk membalas rasa sakit yang pernah kuperbuat, pun sesakit tertusuk kerikil tumpul. Tak mungkin aku duduk di bangku ini jika tidak untuk menyelamatkan empat ekor semut, atau untuk memikirkan ini. Tak mungkin aku melewati jalan memutar tadi jika bukan agar aku melihat orang yang lama tak pernah kulihat. Lama dalam bilangan menurut kadarnya dalam hidupku, sebelum saat ini tepatnya. Tak mungkin aku merindu seperti ini jika bukan karena diapun teringat padaku. Atau dia teringat padaku karena aku yang merindukannya ketika aku melewati jalan memutar tadi sehingga aku melihatnya. Oleh karena itu aku merindukannya. Bukan sebuah logika yang berbelit-belit sebenarnya. Namun butuh kerelaan waktu untuk memikirkannya. Dan nafas lebih panjang tentunya…
Jika waktu itu aku tidak memutuskan untuk pindah ke kota ini, aku mungkin tidak akan bertemu dengan orang itu. Mungkin aku masih akan dalam sakit hatiku yang mendalam, membenci pria selamanya,  dan memutuskan untuk tidak akan menikah. Atau mungkin aku akan bertemu dengan orang lain yang lebih segala galanya darinya, hidup bahagia selamanya. Atau mungkin aku akan tetap bertemu dengannya di tempat lain, dengan pertemuan yang sama indahnya, atau bahkan lebih indah, namun tidak akan lebih buruk. (aku masih menggunakan perasaanku, kan?) karena tidak ada pertemuan lain yang lebih buruk daripada pertemuan kami. (rasa masih ikut campur). Kami bertemu saat dia sedang hampir bercinta dengan kekasihnya. Lalu takdir bekerja.. bum bum bum!!!!
 Aku tersenyum saat dia menawarkan untuk menjalani  setapak yang sama, meski kami benar-benar berbeda. Jalanku terjal, detikku cepat, aku terbiasa berhati-hati meski tak takut menghadapi resiko, percaya keajaiban pada “last minute” , mempersiapkan diriku untuk menghadapi kemungkinan terburuk, bersiap berjalan memutar atau memanjat tebing jika jalan utama tidak memungkinkan. Sedangkan dia, jalannya halus, detik bisa dijalani dengan normal, ada banyak pemandangan indah di kanan kiri, udaranya sejuk, dan selalu ada jalan alternatif yang sama bagusnya jika ada hambatan di jalan utama. Kami berbeda, tapi memutuskan untuk berjalan beriringan dalam satu setapak.
Segala yang tidak kebetulanpun juga harus mengalami ketidakbetulan lain yang tidak menyenangkan untuk memperkuat dan juga untuk membuktikan bahwa itu bukan suatu kebetulan. Aku kembali berjalan dengan cepat, dia kembali menikmati perjalanan. Aku kembali menikmati “keluar jalur” karena menurutku itu sangat menantang untuk dicoba. Sedang dia memintaku untuk berteduh dalam payungnya, lebih aman, nyaman dan bisa terprediksi. Entah mengapa hal-hal semacam itu menjadi besar.  Kami memilih memutuskan untuk kembali berjalan pada setapak masing masing.
Karena tidak adanya kebetulan dalam logikaku, saat in aku menantangnya. Menantang sesuatu yang menyebabkan semua hal terhubung dan penuh makna. Jika memang mimpi-mimpiku bukan merupakan kebetulan, tentu semua ini akan kembali terhubung. Mungkin jalan yang kami tapaki masing masing memiliki satu ujung yang sama pada suatu waktu yang –bukan kebetulan- tepat. Saat ini kami memilih menapaki waktu dengan detik berbeda. Saat ini aku memilih merindu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar