Aku melakukan suatu kekhilafan. Suatu kekhilafan yang tak sepenuhnya salah. Sebuah kekhilafan yang tak akan pernah mungkin kusesali. Sebuah khilafan yang membuatku tercampakkan dari keadaanku yang nyaman, kekasih yang luar biasa baik, dunia yang begitu sempurna. Namun aku bahagia. Sangat bahagia. Meski akhirnya tak ada satupun yang bisa kupertahankan, kebahagiaan itu atau dunia indah sebelumnya.
Goresan percabangan takdir yang sebenarnya tak begitu jelas tekanannya sore itu kupilih kuikuti. Seperti berjalan memasuki labirin, kita tak pernah tau apa yang ada dan akan terjadi di balik belokan. Aku bertemu dengan sesosok wajah melewatiku. Detikku cepat. Setiap hari aku bertemu ratusan wajah, namun bukan wajah itu. Atau mungkin bukan saat seperti saat itu. Mata kami bertemu.  Sekejap aku berharap dia kembali dan menanyakan namaku, lalu kami bisa mengobrol, menemukan kecocokan, dan….. sebuah doa yang teramat panjang untuk sebuah pandangan yang bertemu. Sebuah doa yang sangat kurang ajar untuk seorang kekasih yang dirindukan beberapa kilometer dari tempat itu. Namun goresan takdir itu menebal, menajam. Wajah itu kembali. Tidak untuk menanyakan namaku. Tapi untuk menuju tempat aku harusnya menuju. Tak pernah kulihat 8 pohon munggur yang kulewati setiap hari menjadi seindah ini. Aku bergabung dalam lingkaran, menundukkan wajahku dari sosok itu. Aku malu. Wajah itu. Guguran daun munggur. Angin yang menarik lepas ikatan rambutku. Semuanya mengijinkanku untuk jatuh cinta saat itu juga. 
Tak perlu waktu lama ketika kita masuk dalam perosotan takdir. Kami makan  sore bersama. Membicarakan hal-hal berat yang hanya akan kami bicarakan denga orang yang kami kenal bertahun-tahun. Membicarakan hidup, takdir, tuhan, dan doa. Disusul dengan sebuah ajakan makan siang keesokan harinya. Lalu berbagi rahasia terbesar dalam hidup pada sore harinya. Dan itulah saat takdir bekerja. Kami tidak bersusah payah. Kami tidak memiliki strategi. inilah jawaban sekaligus pertanyaan atas semua kegelisahan kami. Tak perlu ciuman. Tak perlu surat cinta. Tak perlu bercinta. Kami mampu untuk menyepakati cinta itu sendiri. 
Tak semalampun kami lewatkan untuk menikmati cinta dalam genggaman tangan. Dalam kata-kata. Dalam harapan. Dalam doa. Batas antara baik , kebaikan, buruk, keburukan, cinta, dan pengkhianatan pun memudar. Cinta tetaplah cinta meski menyakiti cinta lain. Cinta tetaplah cinta meskipun tidak dipilih. Cinta tetaplah cinta meski berlabuh pada pelukan lain. Cinta tetaplah cinta meskipun ranting takdir itu patah oleh angin. 
Aku tidak pernah berencana untuk jatuh cinta.aku hanya mengambil salah satu belokan pada labirin, dan aku menemukan cinta. Lalu benar-benar jatuh terperosok kedalamnya. Menyakiti pegangan cinta lain pada sebelah tanganku. Menikmati permainannya, merasakan satu bentuk kesalahan, dan tak pernah menyesal.
 
:D
BalasHapus