Terimakasih atas pertemuan kemarin (#daruratseni
: SENIMAN DAN ISI KEPALANYA).
Saya mengerti geram yang berujung senyum
entah sinis, entah jengkel (atau gemas?) yang terbaca dari hampir semua mata;
baik yang terang mengungkap kesal, pun yang berucap terimakasih.
Maafkan, Saya memang keras kepala dan
menjengkelkan.
Dan agar tidak disangka orang baik
(apalagi Cuma disangka), saya ingin meralat ucapan saya. Setelah berfikir
beberapa waktu, mungkin memang benar kata salah satu teman yang hadir kemarin,
bahwa saya tidak melakukan ini untuk siapapun (adik-adik kelas apalagi), saya
melakukan ini semua untuk diri saya
sendiri. Kemudian saya mencatatnya
agar diri saya tidak lupa (dan tidak perlu mengulangi babak ini lagi dalam fase
selanjutnya).
Dari pertemuan kemarin saya akhirnya
tahu, bahwa tidak hanya saya yang (sebenarnya) takut kesepian (bukan
kesendirian).
saya tahu bahwa ada yang
mempersiapkan dirinya sebagai seorang aktor setiap saat: tubuh, pikiran, dan
rasa yang terbuka terhadap segala kemungkinan, setiap saat! Dan itu (mungkin)
akan membuat kita lebih rileks menghadapi hari, karena kita tidak berekspektasi
apapun terhadap orang dan situasi.
Saya juga mendengar nasehat penuh
kasih untuk tidak terancam dengan pencapaian orang lain, karena proses di dalam
diri yang kita lalui jauh lebih penting dari apapun, termasuk keberhasilan itu
sendiri.
Dalam pertemuan itu saya juga melihat
beberapa pasang mata yang tulus memperhatikan, telinga yang ikhlas
mendengarkan, dan hati yang mensyukuri sebuah pertemuan, mereka tidak banyak
berkata, namun dari senyumnya saya yakin mereka orang-orang yang lebih
berbahagia (setidaknya daripada saya).
Saya membaca banyak kegelisahan, baik
pada keadaan yang dihadapi ataupun terhadap diri sendiri.
Saya pun melihat banyak singa muda yang
mengira dirinya domba hanya karena ukuran tubuh; yang lantas membuat saya
bercermin, takut saya adalah sebaliknya, hanya karena ego dan besar kepala.
Dan...
Akhirnya ada pula yang mengungkapkan lewat kata tentang “mendengar apa yang tidak dikatakan, membaca apa yang tidak benar tertera, dan melihat apa yang tidak dilakukan dengan dengan jelas”, hal itu sangat berarti bagi orang canggung seperti saya. Selama ini, saya kesulitan untuk mengungkapkan apa yang benar saya rasakan. Saya selalu mengacaukan semuanya, saya hampir selalu gagal bersikap “baik” dan menyenangkan; meskipun saya sebenarnya menginginkannya (namun ini rahasia, karena saya tidak mau disangka baik. Apalagi cuma disangka)
Sekali lagi maafkan saya yang keras kepala dan menjengkelkan.
Salam.
Gayuh Juridus Gede Asmara.
