Kamis, 28 Januari 2016

Cermin biasa dan seorang gadis yang menyedihkan

Di sebuah dunia yang sangat biasa, hiduplah seorang gadis yang mempercayai dirinya lebih dari apapun. Ia percaya dengan pandangannya terhadap diri sendiri. Bila ada orang ataupun situasi yang pada akhirnya (nampak) mendefinisikan  dirinya, Ia hanya akan tersenyum, mendengarkan, dan menganggap hal itu sebagai perbedaan pendapat yang tidak terlalu penting untuk dimasukkan ke dalam pikiran, apalagi hati. Ia percaya bahwa dirinya adalah seorang manusia yang kuat, hampir sangat jahat, tidak berperasaan, suka berbohong, sangat pintar, cerdik, buruk rupa, teguh pendirian, dan egois. Dengan kualitas diri tersebut, sang gadis percaya bahwa dia akan mampu menghadapi situasi apapun. Dia yakin bahwa kekerasan hatinya akan melindungi dirinya dari segala macam sakit, perasaan maupun fisik. 

Gadis itu memandang remeh pertemanan massive yang nampak palsu di matanya. Ia memiliki sedikit teman yang berkualitas, yang saling memahami dan tulus (mengingat semua sifat buruknya, tentu tidak banyak orang yang akan  mau dan bertahan). Dia membenci laki-laki yang pintar berdiplomasi, dan ramah. Ia lebih memilih laki-laki sangat pendiam yang menurutnya hanya akan berbicara dengan dirinya, dan hanya dirinya lah yang mampu memahami lelaki tersebut. Gadis itu mengkonstruksi dunianya sendiri, dan membangun tembok yang sangat tinggi mengitarinya sehingga tidak satupun yang akan benar-benar tahu apa yang dipikirkan dan dikhawatirkannya. Orang lain hanya akan melihat dia selalu baik-baik saja. Jikapun da yang pada akhirnya bertanya, Ia akan mengarang permasalahan lain yang lebih sederhana, dan ia sampaikan berlebihan, sehingga orang akan menganggap dia sebagai gadis yang rapuh dan bodoh. semua nampak sempurna dan sesuai apa yang dia pikirkan. Segala permasalahan yang muncul pun telah dia prediksi sebelumnya.

 Sampai suatu hari dia menemukan sebuah cermin ajaib yang menunjukkan beberapa hal yang menghancurkan gambaran ideal dari apa yang paling ia percayai di dunia ini, yaitu dirinya sendiri. Teman yang Ia banggakan (meskipun dalam hati) sebagai wujud  kecerdasannya mengambil sikap dan memilih pergaulan ternyata tidak lebih baik dari teman-teman palsu yang dimiliki teman-temannya (yang selalu ia ejek dalam hati). Lelaki yang dipilihnya, ternyata hanya nampak pendiam di hadapannya karena telah mengetauhi pilihan seleranya. Lewat cermin itu juga dia akhirnya tahu bahwa dia lah yang justru telah banyak dibohongi oleh orang-orang terdekatnya, dimana Ia sama sekali tidak mungkin bisa berbohong. Ia pun ternyata  menerima beberapa kecurangan, dan ternyata Ia telah merasakan sakit lebih dari yang dia percayai. 
Hujan turun waktu itu, berduka atas apa yang telah menimpa Sang Gadis. Di tengah kesedihannya, Ia menemukan sendiri kalimat yang ditulisnya waktu masih kanak-kanak.

Jika pada suatu hari kamu meragukan hampir semua hal, maka duduk dan dengarkan hatimu. Kamu mungkin salah mempercayai sesuatu, namun tentu itu bukan dirimu.  Sesuatu itu mungkin adalah hal yang ingin dirimu percayai, dan itulah yang akan menghancurkanmu. Bukalah mata, telinga dan hatimu baik-baik. 
Gadis perlahan memahami, Ia tidak seharusnya berhenti percaya pada dirinya. Ia hanya harus merubah apa yang dirinya percayai.

Dunia tetap berjalan semestinya, jam berdetak seperti biasanya, namun Sang Gadis telah tahu Ia harus memilih hal dan cara yang berbeda untuk hidupnya.


** Di kemudian hari Sang Gadis mengetauhi bahwa cermin ajaib yang ia temukan adalah sebuah cermin  cermin biasa. ternyata selama ini Ia menggunakan cermin yang ia desain khusus untuk hanya menunjukkan hal-hal yang ia inginkan

Minggu, 22 November 2015

timbang

Aku tidak tau pasti siapa yang paling merugi. Mungkin nampak seperti kamu, atau malah aku. Titian ini belum juga jelas akan lebih berat di sebelah mana. Yang aku tahu, aku melakukannya  hanya karena aku belum ingin berhenti, bukan masalah untung rugi. Kamu mungkin akan menyumpahiku, atau malah tertawa karena bahagia tidak harus berusaha keras berada disisiku.
Aku terbiasa menahan semua perasaanku. Membenci ataupun  mencintai diam-diam, keduanya seperti menelan makanan saat radang tenggorokan. Menyakitkan. Apalagi jika merasakan keduanya bersamaan, kepada satu orang.
Kamu mungkin paham, atau malah sama sekali tidak, tentang betapa inginnya aku membuatmu bahagia. Betapa inginnya aku melihatmu meraih semua yang kamu inginkan. Betapa sedihnya aku saat melihatmu terluka, sementara aku tidak mampu melakukan apa-apa.
Aku mencintai dengan sangat mengerikan. Aku akan memaafkan semua kesalahan orang yang kucintai. Aku akan meletakkan segala macam logika yang selama ini kujunjung tinggi. Aku akan menempuh cara apapun demi melihat binar di mata orang yang kucintai. Aku bahkan bersedia melukai diriku sendiri untuk ditukar dengan seulas senyumnya. Berlebihan, memang. Oleh sebab itu aku membencinya. Membenci keadaan dimana aku jatuh cinta. Terlebih padamu. Saat bahkan aku belum cukup mencintai diriku sendiri. Aku hampir yakin aku akan tumbang. Hanya tinggal menunggu waktu. Karena aku terbiasa bertanggung jawab terhadap segala perbuatanku, termasuk jatuh cinta.
Aku tidak akan membebanimu dengan apa yang aku rasakan. Ini adalah sepenuhnya milikku. Rasaku. Cintaku. Kumohon jangan ikut campur, dengan bertanya bagaimana dan mengatasnamakan kita.

Rabu, 07 Oktober 2015

catatan usai pertemuan



Terimakasih atas pertemuan kemarin (#daruratseni : SENIMAN DAN ISI KEPALANYA).
Saya mengerti geram yang berujung senyum entah sinis, entah jengkel (atau gemas?) yang terbaca dari hampir semua mata; baik yang terang mengungkap kesal, pun yang berucap terimakasih.
Maafkan, Saya memang keras kepala dan menjengkelkan.
Dan agar tidak disangka orang baik (apalagi Cuma disangka), saya ingin meralat ucapan saya. Setelah berfikir beberapa waktu, mungkin memang benar kata salah satu teman yang hadir kemarin, bahwa saya tidak melakukan ini untuk siapapun (adik-adik kelas apalagi), saya melakukan ini semua untuk diri saya sendiri.  Kemudian saya mencatatnya agar diri saya tidak lupa (dan tidak perlu mengulangi babak ini lagi dalam fase selanjutnya).
Dari pertemuan kemarin saya akhirnya tahu, bahwa tidak hanya saya yang (sebenarnya) takut kesepian (bukan kesendirian). 
saya tahu bahwa ada yang mempersiapkan dirinya sebagai seorang aktor setiap saat: tubuh, pikiran, dan rasa yang terbuka terhadap segala kemungkinan, setiap saat! Dan itu (mungkin) akan membuat kita lebih rileks menghadapi hari, karena kita tidak berekspektasi apapun terhadap orang dan situasi.
 
Saya juga mendengar nasehat penuh kasih untuk tidak terancam dengan pencapaian orang lain, karena proses di dalam diri yang kita lalui jauh lebih penting dari apapun, termasuk keberhasilan itu sendiri. 
Dalam pertemuan itu saya juga melihat beberapa pasang mata yang tulus memperhatikan, telinga yang ikhlas mendengarkan, dan hati yang mensyukuri sebuah pertemuan, mereka tidak banyak berkata, namun dari senyumnya saya yakin mereka orang-orang yang lebih berbahagia (setidaknya daripada saya).
Saya membaca banyak kegelisahan, baik pada keadaan yang dihadapi ataupun terhadap diri sendiri. 
Saya pun melihat banyak singa muda yang mengira dirinya domba hanya karena ukuran tubuh; yang lantas membuat saya bercermin, takut saya adalah sebaliknya, hanya karena ego dan besar kepala.
Dan...

Akhirnya ada pula yang mengungkapkan lewat kata tentang “mendengar apa yang tidak dikatakan, membaca apa yang tidak benar tertera, dan melihat apa yang tidak dilakukan dengan dengan jelas”, hal itu sangat berarti bagi orang canggung seperti saya. Selama ini, saya kesulitan untuk mengungkapkan apa yang benar saya rasakan. Saya selalu mengacaukan semuanya, saya hampir selalu gagal bersikap “baik” dan menyenangkan; meskipun saya sebenarnya menginginkannya (namun ini rahasia, karena saya tidak mau disangka baik. Apalagi cuma disangka)

Sekali lagi maafkan saya yang keras kepala dan menjengkelkan.

Salam.
Gayuh Juridus Gede Asmara.